Kota Padang versi sejarah genap berusia 343 tahun pada 7 Agustus ini. Bagi sebuah daerah, usia akan dilihat dari kondisi daerah tersebut, terutama bagaimana wajah kota, tata ruang, sarana prasarana, tingkat kesejahteraan masyarakatnya, dan pelayanan publik yang diberikan pemerintah pada warganya. Pada akhirnya kematangan sebuah kota akan sendirinya menimbulkan kebanggaan bagi warganya. Bangga sebagai warga kota Padang, dan bangga memiliki KTP Padang.
Dalam kamus besar Bahasa Indonesia, “Padang” berarti suatu tanah yang datar dan luas, atau lapangan luas. Agaknya ini yang menginspirasi lahirnya nama kota Padang. Secara topografi kota Padang merupakan dataran rendah yang dikelilingi bukit-bukit yang tidak begitu tinggi dan bermuara dua sungai yaitu Batang Kuranji dan Batang Arau.
Pada Abad ke-14 (1340—1375) di Minangkabau ada kerajaan di bawah pemerintahan Adityawarman. Pada masa itu wilayah Padang cuma dikenal sebagai kampung nelayan, orang menyebutnya Kampung Batung. Ketika itu Padang diperintah oleh Penghulu Delapan Suku dengan sistem pemerintahan nagari.
Sekitar abad ke-15 dan 16, kerajaan Aceh dibawah pemerintahan Iskandar Muda meluaskan wilayah kekuasaan dan perdagangannya sampai ke pesisir pantai barat Minangkabau seperti Tiku, Pariaman, dan Indrapura. Padang sebagai daerah pantai masa itu telah disinggahi oleh pedagang–pedagang dari daerah lain yang akan terus ke Aceh.
Akhir abad ke-16 masa jaya Kerajaan Aceh mulai turun, daerah-daerah yang dikuasai kerajaan Aceh mulai melepaskan diri, dan pada waktu bersamaan di nusantara ini mulai beroperasi perusahaan dagang Belanda, dikenal dengan nama VOC (Verenigde Ost Indisehe Company). VOC menerapkan politik devide at impera (pecah belah) dalam perluasan perdagangan dan kekuasaannya. Akibatnya timbul ketegangan masyarakat di kota-kota pesisir pantai Sumatera. Kerajaan Aceh dipropaganda oleh VOC seolah akan menguasai Padang. VOC berdalih membantu masyarakat menghadapi Aceh.
VOC menyadari dan melihat Padang sangat strategis dan dijadikan pusat perdagangan dan pe-merintahan. Pulau Cingkuak, dan Batang Arau lebih baik dijadikan sebagai daerah pelabuhan. Melalui penghulu terkemuka Padang yang bernama Orang Kayo Kaciak VOC dapat izin mendirikan loji pertama pada tahun 1667 di kota Padang. Inilah titik awal Padang tumbuh se-bagai sebuah kota. Belanda tidak saja meluaskan perdagangannya melalui VOC, tetapi mulai dapat memerintah masyarakat. Dari Muara Padang ini pusat pemerintahan dan per-dagangan Belanda digerakkan ke seluruh pelosok Sumatera bagian tengah.
Kondisi ini menimbulkan ketidakpuasan rakyat karena Belanda tidak lagi berdagang, tetapi sudah menjajah. Rakyat mulai melakukan perlawanan. Puncaknya terjadi 7 Agustus 1669.
Dalam catatan sejarah, saat itu masyarakat Pauh dan Koto Tangah berhasil menguasai loji-loji Belanda di Muara serta banyaknya Belanda yang dibunuh. Peristiwa ini kemudian diabadikan sebagai tahun kelahiran Kota Padang. Setiap tahunnya diperingati sebagai hari jadi kota Padang, yang tahun ini sudah berusia 343.
***
Di usia 343 ini, Padang masih dihadapkan dengan berbagai persoalan perkotaan. Layaknya persoalan yang dihadapi kota kota lain baik di Sumatera Barat, Indonesia maupun di dunia. Hanya saja jenis persoalan, cara penyelesaian, dan gaya kepemimpinan yang membuat persoalan itu terlihat berbeda. Padang yang tengah berbenah diri menjadi kota industri, kota perdagangan dan kota pariwisata harus dihadapkan dengan persoalan persoalan besar yang tak kalah dari kota kota besar lainnya di dunia.
Plus minus Padang dari sisi geografis dan kekayaan alamnya menjadi tantangan bagi walikota dalam memimpin pemerintahan. Dari periode ke periode di setiap tampuk kepemimpinan seorang walikota, fokus persoalan yang dihadapi jelas berbeda, irama kepemimpinan pun berbeda sesuai zaman dan tantangan yang dihadapi saat itu. Namun yang jelas, setiap era kepemimpinan tersebut, selalu ada program fundamental yang direalisasikan. Biasanya program itu dikenang setelah walikota yang bersangkutan habis jabatan atas sudah meninggal dunia.
Dalam catatan sejarah setelah kemerdekaan diproklamirkan, Padang sebagai sebuah wilayah tetap setia berada di bawah pemerintahan RI. Walikota pertama adalah, Mr Abubakar Ja’ar (1945—1946), menjabat beberapa bulan saja. Mr Abubakar Ja’ar dipindahkan menjadi residen di Sumatera Timur. Selanjutnya Padang dipimpin Bagindo Aziz Chan (1946-1947) yang dikenal sebagai Walikota Pejuang. Beliau gugur 17 Juli 1947 di tangan penjajah Belanda.
Setelah Bagindo Aziz Chan gugur, Belanda melakukan agresi I, akibatnya secara de fakto Belanda menguasai Padang. Untuk itu pemerintahan kota Padang dipindahkan ke Padangpanjang dengan walikotanya Said Rasyad (1947). Pemerintahan Said Rasyad berlangsung tidak lama karena timbulnya agresi ke II. Walikota berikutnya adalah Dr A Hakim (1947—1949) dan memerintah tidak terlalu lama. Setelah pemulihan kedaulatan RI tahun 1949 Padang dipimpin oleh Dr Rasyiddin sebagai walikota yang ke lima (1949-1956 )
Melalui surat keputusan Gubernur Sumatera Tengah tanggal 15 Agustus 1950 No 65/GP-50 ditetapkan pemerintahan kota Padang sebagai suatu daerah otonom dengan walikota keenam (1956—1958). Pada tahun 1958-1966 Padang dipimpin oleh ZA StPangeran sebagai walikota ke tujuh. Berikutnya walikota Padang adalah Drs Azhari sebagai walikota ke delapan dan pada tahun 1967-1971 Padang dipimpin oleh Drs Achirul Yahya.
Keluarnya UU No 5 tahun 1974 tentang pokok-pokok pemerintah di daerah, kota Padang di samping daerah otonom, juga merupakan wilayah administratif dikepalai oleh seorang walikota dan waktu itu diangkat sebagai walikota Padang ke sepuluh adalah Drs Hasan Basri Durin (1971—1983). Sesuai dengan PP No. 17 Tahun 1980 Padang diperluas menjadi 694,96 Km2 terdiri dari 11 kecamatan dengan 193 kelurahan.
Setelah Drs Hasan Basri Durin selesai melaksanakan tugasnya sebagai walikota Padang, maka diangkatlah Syahrul Ujud SH sebagai Walikota kesebelas dengan kepemimpinannya selama sepuluh tahun (1983—1993). Berakhirnya kepemimpinan Syahrul Ujud, SH tongkat estafet diserahkan kepada Drs Zuiyen Rais, MS (1993—2003) yang merupakan Walikota Padang ke dua belas. Sejak 2003 sampai sekarang, dua kali periode, Padang dipimpin Dr Fauzi Bahar, MSi, sebagai walikota ke-13 dan ke-14.
***
Fauzi Bahar menjadi walikota yang sejak kepemimpinannya masa-masa kebebasan demokrasi. Demonstrasi dari berbagai pihak tak asing bagi putra Koto Tangah yang berdarah militer ini. Beruntung sejak dilantik sebagai pemimpin sipil, secara berangsur angsur darah militernya mulai berkurang. Di satu sisi dalam hal gerak cepat, naluri militer masih melekat dalam dirinya. Tetapi dalam menangani persoalan kemasyarakatan, garis komandonya bukan lagi komando militer. Namun tak jarang kebijakan kebijakannya disambut kontroversi.
Memberantas togel secara besar besaran di Padang sempat membuahkan hasil. Permainan judi tersebut sempat nyaris habis dari Kota Padang meski belakangan kembali tumbuh. Bisa saja rentetan musibah yang menimpa kota Padang menyebabkan kosentrasi dan fokus kerja seorang walikota terbagi di usia 343 tahun ini. Sebab bukan hanya ancaman gempa dan tsunami yang menjadi kegalauan warga Padang, bencana bentuk lain seperti galodo dan longsor selalu mengintai dan membuat Pemko berjibaku mengantisipasi dan menanganinya.
Bergairahnya program hafalan jus amma (ayat ayat pendek), pesantren ramadhan dan bangkitnya kegiatan majelis ta’lim merupakan buah program yang dicanangkan Fauzi Bahar, meski ada yang menilai program tersebut cukup menjadi program di kementrian agama. Justru pemikiran lain melatarbelakangi program tersebut, setidaknya mempersiapkan generasi muda yang agamis. Maklum, sebelum masuk dunia militer, Fauzi ditepa di dunia pendidik/guru.
Terobosan yang dilakukan walikota Padang, termasuk mengebut pembangunan fisik berupa sarana prasarana bukanlah hal yang gampang. Ia memerintah bukan di era Syahrul Ujud sebagai walikota, atau Azwar Anas sebagai gubernur Sumbar. Era itu persoalan tanah tak pernah jadi penghalang pembangunan untuk umum. Kini, sejengkal tanah dan sebatang pohon sangat berharga nilainya, dan hampir setiap orang yang memiliki menuntut hak tersebut. Realistis atau tidak tuntutan itu, yang terpenting warga memprotes dan bahkan berani bertarung di ranah hukum.
Memerintah hampir satu juta orang bukanlah hal yang mudah. Upaya walikota Fauzi Bahar hingga periode kedua pemerintahannya dalam pembentukan akhlak perlu dilanjutkan, karena membentuk akhlak bukanlah pekerjaan yang instant. Di sisi lain, Pemko Padang harus tetap membuka diri dan introspeksi atas pelaksanaan program selama ini.
Gaya kepemimpinan ala pendidikan, Tut Wuri Handayani (di depan sebagai contoh) yang dipraktekkan selama ini perlu kombinasi dengan ing ngarso sungtulodo (memberikan dorongan dari belakang), dan ing madyo mangunkarso (sama sama terjun). Pemimpin atau walikota harus terus memberikan keteladanan, lalu didukung dan dikelilingi oleh orang orang atau pejabat yang punya akhlak baik pula. Fauzi Bahar bukanlah superman atau superboy, Ia juga manusia yang tak luput dari kesalahan dan kekeliruan. Sebelum terlanjur bertindak atas kebijakan yang dibuat, staf atau pembantu terdekat hendaknya berani memberi masukan yang riil.
Kurun waktu pemerintahan Fauzi Bahar sebagai walikota yang tersisa harus dimanfaatkannya dengan baik. Semboyan “Padang Kota Tercinta, Kujaga dan Kubela” jangan hanya di atas kertas atau baliho. Tapi masuk ke hati masyarakat kota Padang, yang bangga sebagai warga kota Padang.
Sumber : Padang Ekspres
|